BAB I
Pendahuluan
1.1
latar belakang
1.2 Rumusan
Masalah
a.
Apa itu
pengertian mistik?
b.
Apa perbeadaan
dan persamaan antara tasawuf dan mistik?
c.
Bagaimana
mistisme dalam islam?
1.3 Tujuan
Agar lebih
mengetahui bagaimana sifat orang sufi dan mistikus, perbedaan dan persamaan
keduanya sehingga dalam mengeluarkan ideologi atau pemikirannya untuk
masyarakat yang baik dapat menjadi tauladan.
BAB II
PEMBAHASAN
TASAWUF DAN
MISTIK
2.1
Pengertian
Mistik
Secara sudut bahasa perkataan akhlak adalah bentuk jamak dari kata khulk,
yang bermakna budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[1]
Sedangkan menurut prof.Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan
kehendak. Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan akan sesuatu maka akan
menjadi akhlak.[2]
Menurut asal
katanya, mistik berasal berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya
rahasia, serba rahasia, tersembunyi, gelap, atau terselubung dalam kekelaman.
Dalam buku De Kleine W.P. Encylopaedie (1950) karya G.B.J. Hiltermann dan Van
De Woestijne, kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya menutup
mata. Kata mistik sejajar dengan kata Yunani lainnya musterion yang artinya
suatu rahasia. Paham mistik dilihat dari segi materi ajarannya dapat dipilah
menjadi dua, yaitu paham mistik keagamaan, yang terkait dengan tuhan dan
ketuhanan, dan paham mistik non-keagamaan, yang tidak terkait dengan ketuhanan.[3]
Dalam kata
mistik itu terkandung sesuatu yang misterius, yang tidak dapat dicapai dengan
cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual. Mistik telah disebut sebagai
“arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.” Dalam artinya yang
paling luas, mistik bisa didefenisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan
tunggal – yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.[4]
Namun, defenisi-defenisi semacam itu
hanya sekadar petunjuk saja. Sebab kenyataan yang menjadi tujuan mistik, dan
apa yang tak terlukiskan, memang tidak bisa dipahami, dijelaskan dan
diungkapkan dengan cara persepsi apapun; baik filsafat maupun penalaran logis.
Hanya kearifan hati, gnosis, ma`rifah, yang bisa mendalami beberapa di antara
seginya. Diperlukan sebuah pengalaman rohani yang tidak tergantung pada
metode-metode indera dan fikiran.
Dari pengertian mistik di atas,
dapat diketahui bahwa mistik bersifat universal, terdapat di semua agama,
bersifat rahasia dan sulit dicermati secara ilmiah. Khusus dalam Islam, paham
mistik disebut tasawuf atau sufisme. Tasawuf yang berkembang di Indonesia telah
mengalami perkembangan dan pada sebagian ajarannya telah dipengaruhi oleh
berbagai kepercayaan pra-Islam dan ajaran Hindu-Budha. Paham semacam ini disebut
sebagai Islam kebatinan. Paham ini melakukan sinkretisme antara ajaran tasawuf
dengan ajaran kebatinan di luar Islam. Di Indonesia, paham Islam kebatinan ini
kemudian berkembang menjadi berbagai macam aliran-aliran kepercayaan dan
kebatinan. Pada perkembangannya, aliran-aliran tersebut kelihatan sudah jauh
meninggalkan ajaran Islam yang murni, bahkan hampir tidak ada kaitan sama
sekali dengan ajaran Islam.
Tasawuf atau mistisme adalah filsafat hidup yang dimaksudkan untuk
meningkatkan jiwa seorang manusia, secara moral, lewat latihan-latihan praktis
yang tertentu, kadang untuk menyatakan penemuan fana dala, realitas yang
tertinggi, tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan rohaniah, yang
hakelat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata.[5]
Definisi ini
diambilan dari kesimpulan corak karakteristik tasawuf atau mistisme, yang
menurut pendapat Dr. Abu al-wafa’ al-gharnimi al-taf tazani tasawuf atau
mistisme pada umumnya memiliki lima ciri yang bersifat psikis, moral, dan
epistermologis, yang sesuai dengan tasawuf atau mistisme tersebut. Kelima ciri
tersebut adalah:
a.
Peningkatan moral
Setiap tasawuf atau mistisme memiliki nialai-nilai moral
tertentu yang tujuanya membersihkan jiwa, untuk perealisasian nialai-nilai
itu. Dengan sendirinya, hal ini
memerlukan latihan fisik-psikis tersendiri, serta pengengkangan dri dari
materialisme duniawi.
b.
Pemenuhan fana
dalam realitas mutlak
Hal ini yang membutuhkan latihan-latihan fisik dan psikis
sehingga seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi psikis tertentu, dimana
dia mencapai dititik yang tertinggi. Meskipun begitu, karakteristik kedua ini
dapat ditemukan pada semua sufi dan mistikus.
c.
Pengetahuan intutif
langsung
Hal ini yang membedakan tasawuf dan mistisme dari
filsafat. Apabila dengan filsafat, yang dalam memahami realitas mempergunakan
metode-metode intelektual, maka di sebut
seorang filosof, sedangkan ia yang berkeyakainan atas metode yang lain bagi
pemahaman hakekat realityas dibalik persepsi inderawi dan penalan intelektual,
ini di sebut sufi atau mistikus.
d.
Ketentraman atau
kebahagiaan
Ini merupakan karakteristik antara sufi dan mistikus,
karena keduanya diniatkan sebagai petunjuk atau pengendali hawa-nafsu, serta
pembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang sufi ataupun mistikus.
e.
Penggunaan simbol
dalam ungkapan-ungkapan
Yang dimaksuddengan menggunakan simbol adalah bahwa
ungkapan-ungkapan yang dipergunakan para sufi atau mistikus itu mengandung 2
pengertian, yaitu :
·
Pengertian yang
ditimba dari harfiah kata-kata
·
Pengertian yang ditimba
dari analisa serta pendalaman
Pengertian keduanya ini sangat kabur bagi orang yang
bukan sufi atau mistikus, dan bagi oarang bukan sufi atau mistikus sulit untuk
memahami ucapan para sufi atau mistikus dapat memahami maksud dan tujuan
mereka.
2.2
Perbedaan Antara Tasawuf dan Mistik
Kata tasawuf sudah sering terdengar, tetapi pengertian
tentang tasawuf masih kabur dalam beragam makna yang adakalanya kadang saling
bertentangan. Hal ini terjadi karena tasawuf atau mistisme telah jadi semacam
berbagai filsafat, kebudayaan dan yang lainya dalam berbagai kurun masa. Dalam
kenyataannya setiap sufi atau mistikus selalu mengungkapkan pengalamannya dalam
kerangka ideologi dan berkembang dlam masyarakat.
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa pengalaman para
sufi dan mistikus itu adalah sama. Perbedaan mereka diantaranya hanyalah karena
ketidak interprestasi atas pengalaman itu sendiri.[6]
Dengan tersendirinya terdapat pula perbedaan tujuan tasawuf atau mistisisme, sesuai dengan perbedaan fase-fase pertingkatan tersebut. Misalnya, sebagian sufi atau mistikus telah berhenti hanya sebatas tujuan moral saja,
yaitu meluruskan jiwa, mengendalikan kehendak, yang membuat manusia hanya konsisten terhadap keluhuran moral.
Tasawuf atau mistisisme yang begini lebih bersifat mendidik, yang ditandai dengan coraknya yang praktis.
Sementara sebagian sufi atau mistikus lainnya memiliki tujuan yang lebih jauh lagi, yaitu mengenal Allah. Dan
demi terealisasinya tujuan ini, mereka pun membuat syarat-syarat khusus. Para penenmpuh tasawuf atau mistisisme ini, khususnya lebih banyak menaruh perhatian terhadap bahasa natas metode serta sarana untuk mengenal Allah, yang
antara lain ialah kasyf
(penyingkapan langsung).
Selain itu terdapat bentuk tasawuf atau mistisisme yang ditandai corak filosofis.Para
penempuhnya mencanangkan tasawuf atau mistisisme ini sebagai penentu sikapnya terhadap semesta dalam upaya mereka mendapatkan penjelasan tentangnya, dan juga untuk menentukan garis hubungan semesta dengan khalik, dan hubungan manusia dengan-Nya. Aliran tasawuf atau mistisisme yang
ditandai corak filosofis ini hendaknya jangan dipandang sebagai aliran murni filsafat. Sebab aliran ini pada dasarnya berlandaskan penyingkapan langsung (kasyf)
atauintuisi, sekalipun berbaju filsafat. Disaat-saat tertentu, sang sufi atau mistikus itu kadang kehilngan kesadaran dirinya sendiri, dan dia merasa bahwa jagat besar ini tidak berarti sama sekali disbanding kemahaan Allah. Dalam beberapa situasi, terkadang muncul aliran-aliran tasawuf atau mistisisme tertentu (seperti aliran panteisme, bulul atau penyatuan dengan Tuhan). Akan tetapi sebagaimana telah dikemukan di atas,
aliran-aliran tersebut pada dasarnya tidak keluar dasarnya dari cita-rasa khusus, yang
membuatnya jelas sepenuhnya berbeda dan berlainan dari struktur-struktur pemikiran yang
berdasarkan landasan pembuktian secara intelektual yang ketat,
yang telah digaris oleh para filosof.
Dengan begitu, tasawuf atau mistisisme itu pertama-tama adalah semacam pengaaman khusus, dan bukannya semacam kondisi yang sama-sama dapat dialami olehsemua orang. Setiap sufi atau mistikus mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi dirinya. Dengan kata
lain, pengalaman dirinya bersifat subyektif. Dan hal inilah yang mendekatkan tasawuf atau mistisisme dengan kesenian, dimana para penempuhnya mendasarkan diri pada introkspeksi dalam mendeskripsikan kondisi mereka.Juga, dalam mengungkapkan dirinya itu mereka meminjam simbol-simbol. Peminjaman ini mereka maksudkan untuk sekedar menyembunyikan kasyif dari
orang-orang yang tidak layak mengetahuinya. Karena itu ada sebagian sufi menyatakan bahwa banyak jalan menuju Allah adalah sebanyak jumlah jiwa manusia. Dan ini semacam penekanan sikap mereka terhadap adanya berbagai perbedaan yang
individual, antara seorang sufi dengan sufilainnya, dan tidak mungkinnya menerapkan suatu pengalaman pada pengalaman lain dalam medan tasawuf atau mistisisme ini.[7]
2.3
Mistisme dalam Islam
Mistisisme dalam
islam diberi nama Tasawuf dan oleh kaum orientalis barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah
orientalis barat dipakai untuk mistisisme islam Sufisme tidak dipakai untuk
mistisisme yang terdapat diagama-agama lain. Tujuan dari tasawuf itu sendiri
ialah untuk memperoleh hubungan langsung dengan tuhan, menyatu dengan tuhan dan
seseorang itu menyadari akan kehadirat tuhan. Dan intisarinya ialah menyadari
akan adanya tuhan dapat berkomunikasi dan berdialog antara roh manusia dan
tuhan dan biasanya dilakukan dengan kontemplasi atau mengasingkan diri. Dan
dalam islam kesadaran dengan tuhan itu dapat juga dinamakan dengan ittihad
yaitu bersatu dengan Tuhan. Sedangkan Tasawuf adalah suatu ilmu penegtahuan
yang mempelajari bagaimana cara dan jalan seorang manusia supaya dapat lebih
memdekatkan diri
dengan Tuhan yaitu Alloh Swt .
Mistisisme ini
muncul sebagai pemberontakan jiwa, dalam diri orang-orang yang benar-benar
berpikiran ruhaniah, yang menentang formalitas agama dan juga kejumudan agama,
yang selanjutnya terpengaruh oleh perasaan bahwa manusia bisa menjalin sebuah
hubungan langsung dengan Tuhan, yang tidak boleh dianggap sebagai Dzat Penguasa
Penuh Kuasa yang berjarak atas takdir-takdir manusia, tetapi sebagai Sahabat
dan Kekasih Jiwa. Kaum mistikus memiliki hasrat mengenal Tuhan, sehingga mereka
bisa mencintai-Nya, dan telah percaya bahwa jiwa dapat menerima: wahyu Tuhan,
melalui sebuah pengalaman religius langsung – bukan melalui indera-indera atau
kecerdasan – dan, dengan cara ini, memasuki keintiman dengan-Nya.
Mereka percaya
bahwa manusia dapat memiliki pengalaman ini, pastilah ada dalam dirinya satu
bagian dari Sifat Ilahiah, bahwa jiwa diciptakan untuk mencerminkan Kemegahan
Tuhan, dan segala sesuatu ambil bagian dalam kehidupan Tuhan. Tetapi kaum
mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman langsung
dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri; pembersihan jiwa dari
kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah bagian mendasar bagi
mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan Penglihatan Tuhan, demi kesempurnaan
Kehidupan Abadi, yang mereka percaya dapat dicapai sekarang, adalah untuk
melihat Tuhan dalam Dzat-Nya. Keakuan dapat ditaklukkan dengan dukungan sebuah
cinta yang lebih besar daripada kecintaan-diri, dan karenanya kaum mistikus
telah menjadi kekasih-kekasih Tuhan, yang mencari penyempurnaan cinta mereka
dalam penyatuan dengan Sang Kekasih .
Di
zaman al-ghazali, pemikiran ia merupakan upaya untuk membatasi penghayatan
mistik dengan penghayatan qurbah (amat dekat dengan dzat tuhan). Oleh karane
itu al-ghazali menyalahkan paham hulul, ittihad, dan whusul, sebagai paham
union mistik atas dasar khayalan belaka. Kemudian al-ghazali menyusun ajaran
baru tentang tasawuf yang dipandang ideal. Tapi paham union mistik tersebut
tidak dapat dimatikan, walaupun pengaruh tasawuf al-ghazali pada saat itu
berpengaruh besar.[8]
Setelah zaman al-ghazali banyak sekali pham mistik atau sufi yang bermunculan,
bahkan union mistik mecapai puncaknya setelah zaman al-ghazali ini.
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan
bahwa mistis dalam agama islam disebut juga Sufi atau Sufisme, mereka
beranggapan bahwa manusia bisa menjalin sebuah hubungan langsung dengan Tuhan,
yang tidak boleh dianggap sebagai Dzat Penguasa Penuh Kuasa yang berjarak atas
takdir-takdir manusia, tetapi sebagai Sahabat dan Kekasih Jiwa. Kaum mistikus
memiliki hasrat mengenal Tuhan, sehingga mereka bisa mencintai-Nya, dan telah
percaya bahwa jiwa dapat menerima: wahyu Tuhan, melalui sebuah pengalaman
religius langsung – bukan melalui indera-indera atau kecerdasan – dan, dengan
cara ini, memasuki keintiman dengan-Nya.
Tetapi
kaum mistikus mengajarkan bahwa tak satu jiwa pun memiliki pengalaman langsung
dengan Tuhan, kecuali dengan penjernihan dari dalam diri; pembersihan jiwa dari
kecintaan pada diri sendiri dan dari hawa nafsu adalah bagian mendasar bagi
mereka yang hendak mencapai Kebajikan dan Penglihatan Tuhan, demi kesempurnaan
Kehidupan Abadi, yang mereka percaya dapat dicapai sekarang, adalah untuk
melihat Tuhan dalam Dzat-Nya
DAFTAR PUSTAKA
Annemarie Scimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj.
Sapardi Djoko Pramono, dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986,
Dr. Abu
al-wafa’ al-gharnimi al-taf tazani: Sufi dari
Zaman ke Zaman. Jakarta .PT
Raja grafindo persada, 1985,
Dr.Asmaran
As., M.A., Pengantar Studi Akhlak.
Jakarta. PT raja grafindo persada. 1992
Harun Nasution, Falsafat &
Mistisisme Dalam Islam, cet. 9, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
http://id.wikipedia.org/wiki/Tasawuf
Simun: Tasawuf
dan Perkembangannya dalam Islam.
[4] Annemarie
Scimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Pramono, dkk, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986, hlm. 1-2
[5]
Dr. Abu al-wafa’ al-gharnimi al-taf tazani:
Sufi dari Zaman ke Zaman. Jakarta .PT
Raja grafindo persada, 1985,hal
6
[6] Dr. Abu al-wafa’
al-gharnimi al-taf tazani: Sufi dari Zaman ke Zaman. Jakarta .PT Raja grafindo persada, 1985,hal 6
[7] Dr. Abu al-wafa’
al-gharnimi al-taf tazani: Sufi dari Zaman ke Zaman. Jakarta .PT Raja grafindo persada, 1985,hal 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar